A. PENGERTIAN POLITIK ISLAM
Kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti “kota”. Pada era modern, istilah politik berarti “segala aktivitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya, terkandung unsur kekuasaan untuk membuat aturan hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan” (Salim, 1994:291).
Sedangkan kata negara,dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan state, dari bahasa latin status, dari bahasa Italia stato, dan etat dalam bahasa Prancis. Menurut Webster’s Dictionary, “negara adalah sejumlah orang yang mendiami secara permanen suatu wilayah tertentu dan diorganisasikan secara politik di bawah suatu pemerintahan yang berdaulat yang hampir sepenuhnya bebas dari pengawasan luar, serta memiliki kekuasaan pemaksa demi mempertahankan keteraturan dalam masyarakat”(Gove, et, al., 1982:22-28).
Berdasarkan pengertian politik dan negara di atas, politik Islam dapat dimaknai “aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagi acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok”. Politik Islam, secara substansial, merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.
1. Perspektif Al-Qur’an tentang Poltik-Pemerintahan
Al-Qur’an, sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, menyediakan suatu dasar yang kokoh dan permanen bagi seluruh prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan ini, termasuk masalah politik. Menurut Asad (1980:1-2), al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam rangka penciptaan kehidupan yang seimbang di dunia ini, dengan tujuan akhir kebahagiaan di akhirat kelak.
Politik atau negara hanyalah sebagai Instrumen bagi agama. Untuk menerapkan al-Qur‘an dalam kehidupan politik praktis diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dalam memaknainya agar memperoleh pemaham yang tepat, karena al-Qur'an tidak menyebutkannya secara eksplisit dalam ayat-ayatnya. Sementara Rasul Allah SAW dalam membangun masyarakat Islam yang berdaulat tidak menentukan bentuk pemerintahan secara spisifik. Dengan kata lain, al-Qur’an tidak memberikan suatu teori ketatanegaraan yang baku, yang harus diikuti umat Islam di seluruh negeri, alasannya:
a. Al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etis bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik.
b. Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi-organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa.
Tujuan terpenting al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Nilai-nilai ini bertalian secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan yang juga menempati posisi sentral dalam ajaran moral al-Qur’an (Lihat Q.S al-Nisa’:58, 124; al-A’raf:29; Ibrahim:90; al-Anbiya’:92; al-Kahfi:29). Dari perspektif ini, suatu negara hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu benar-benar terwujud di dalamnya, dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan rakyat.
Al-Qur’an tidak membahas secara khusus tentang bentuk negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama al-Qur’an ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka, atas dasar nilai-nilai etis al-Qur’an itulah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Meski al-Qur’an tidak menegaskan bentuk baku suatu negara, model dan struktur ketatanegaraan Islam senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi, dan perbaikan, serta dinamis seiring dengan tuntutan ruang dan waktu.
2. Variasi Pandangan Umat Islam dalam Melihat Relasi Islam dan Politik
Secara kategorial, dalam memandang relasi Islam dan politik, para pemikir muslim terfragmentasi ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok “Islam politik” (al-Islam al-siyasi), yaitu kelompok yang dengan gigih menginginkan diwujudkannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui pranata negara, misalnya dalam bentuk perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan sebagainya.
Kelompok ini berpijak pada tiga prinsip utama, yaitu: (1) politik adalah bagian integral dari Islam, karena itu praktik politik wajib dilakukan oleh setiap orang Islam. (2) Islam politik sudah menjadi anutan mayoritas kaum muslimin (jama’ah al-muslimin). Karena itu, orang yang tidak masuk dalam komunitas besar Islam (al-sawad al-a’zham) dianggap telah keluar dari komunitas Islam. (3) Menegakkan jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kedua, kelompok "moderat" (al-mutawassith) yang berpandangan bahwa hubungan agama dengan politik-kenegaraan adalah relasi etik dan moral. Negara merupakan instrumen politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal. Argumen yang dikemukakan oleh kelompok “Islam moderat” adalah bahwa konsep negara dan pemerintahan merupakan bagian dari ijtihad kaum Muslimin, karena Islam tidak menentukan dengan jelas tata-negara dan sistem pemerintahan. Karena itu, bentuk negara bisa republik, monarki, perserikatan, atau bentuk lain. Tokoh-tokoh yang berhaluan demikian antara lain: Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Muhammad ‘Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, Amin Rais, dan Jalaluddin Rahmat (Ghazali, 2002:175).
Ketiga, kelompok “kiri Islam” (al-yasar al-Islami) yang menolak penerapan syariat dan pembentukan negara Islam. Bagi kelompok ini, Islam adalah agama, bukan negara. Lebih lanjut, mereka menampik idealisasi politik Nabi SAW di Madinah. Para pemikir yang berada dalam spektrum pemikiran ini, antara lain: ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Muhammad Sa’id al-Asymawi, Muhammad Ahmad Khalfallah, Faraj Faudah, dan Abdurrahman Wahid (Khan, 1982:75-76).
Alasan yang dipedomani kelompok ini adalah:
a. Persoalan politik merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini oleh setiap individu Muslim. Karena sifatnya yang historis itulah, ia bukan Islam itu sendiri. Islam harus dipisahkan dengan politik. Tujuannya adalah agar tidak terjadi politisasi agama hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
b. Praktik politik bukanlah suatu kewajiban agama yang harus dijalankan oleh para pemeluknya. Bagi kelompok “kiri Islam”, Islam itu universal, sedangkan praktik politik itu bersifat partikular (al-Ashmawy, 1989:138).
c. Konsep jihad dalam Islam adalah jihad melawan hawa nafsu. Jika jiwa kita terancam karena adanya suatu peperangan, maka sudah selayaknya kita mempertahankan diri.
Timbulnya variasi pemikiran tersebut tidak lepas dari watak Islam yang sangat elastis dan interpretatif. Harus diakui bahwa kaum Muslimin tidak memiliki model “negara Islam” yang jelas dan konkret.
Keragaman teori politik Islam terjadi karena sebab-sebab berikut. Pertama, belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan syariat Islam itu. Apakah terma syariat lebih merujuk kepada makna generiknya sebagai jalan hidup (al-sabil, al-sirath) atau menunjuk pada pranata legal-yudisial seperti yang ada dalam fikih. Kedua, negara Islam yang didirikan oleh Nabi SAW di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak memberikan model yang terperinci, yang bisa dipakai dalam konteks kenegaraan sekarang. Ketiga, belum ada rumusan konseptual yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan pemerintahan Islam (hukumah Islamiyah) atau negara Islam (daulah Islamiyah) itu (Ghazali, 2002:176).
3. Institusi Khilafah dalam Tradisi Politik Islam
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang diklaim oleh sebagian umat Islam sebagai konsep politik yang direkomendasikan oleh Islam. Khilafah merupakan antitesa dari konsep negara bangsa (nation state) yang dianut oleh mayoritas masyarakat dunia. Khilafah menghendaki umat Islam melebur dalam satu payung kekuasaan (dipimpin oleh seorang khalifah) dengan mengesampingkan perbedaan ras, suku dan bahasa.
Sebagian ahli berpandangan bahwa konsep khilafah tidak memiliki landasan tekstual (nash) yang konklusif dalam Islam. Kekurangan tersebut dapat dilihat dari tidak adanya pembakuan konsep khilafah yang dapat diberlakukan secara universal (one size fits for all).
Sejak zaman Nabi SAW, masyarakat Muslim sudah terhimpun dalam sebuah organisasi politik bernama negara (Gibb, 1955:4). Sebagai komunitas berdaulat dalam sebuah negara, mereka tentu sudah mengadopsi bentuk tertentu dari institusi khilafah. Hanya saja, pembentukan khilafah saat itu tidak berangkat dari format konsep normatif, tetapi bergerak dalam bentuk praktis historis. Implikasi dari tidak adanya konsep normatif itu adalah bahwa konsep khilafah akhirnya hanya didasarkan pada serpihan-serpihan ayat al-Qur’an serta sejumlah hadis saja. Dengan begitu konsep khilafah yang diaktualisasikan hanya mampu menyentuh prinsip-prinsip dasar kelembagaannya saja (al-Khalidi, 1980:8).
Jika dirunut dalam sirah Rasul Allah SAW, beliau tidak menentukan bentuk khusus bagi suatu bentuk pemerintahan. Ini tidak lain karena masalah pemerintahan merupakan urusan keduniaan yang oleh beliau diserahkan kepada umat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ(kalian lebih mengetahui dariku tentang urusan duniamu). Artinya, masalah khilafah adalah masalah ijtihadiyah bukan tauqifiyah (given).
B. PRINSIP-PRINSIP DASAR DAN CITA-CITA POLITIK ISLAM
Untuk menyelenggarakan pemerintahan negara, menurut Salim (1994:306), terdapat empat prinsip dasar dalam politik Islam,yaitu:
1. Prinsip amanat
Prinsip pertama mengandung makna bahwa kekuasaan politik yang dimiliki oleh pemerintah merupakan amanat Allah dan juga amanat rakyat yang telah mengangkatnya melalui baiat. Sebagai amanat Allah, kekuasaan politik itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia.
Al-Maraghi (1974:70) mengklasifikasi amanat atas: (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhannya, (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya, dan (3) tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri. Adapun Thanthawi Jauhari (tt:54) berpendapat, amanat mengandung pengertian “segala yang dipercayakan orang, berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.” Amanat yang dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil.
2. Prinsip keadilan
Adil menjadi prinsip kedua dalam pengelolaan kekuasan politik. Keadilan yang dituntut itu bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslimin saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Dalam kontek inilah turun firman Allah dalam Q.S. al-Nisa':105.
وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
"Janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah, karena (membela) orang-orang yang khianat."
Keadilan juga mengandung arti bahwa pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci atau didiamkan oleh hukum Allah.
3. Prinsip ketaatan
Prinsip ketiga ini mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum perundang-undangan dan kebijakan pemerintah wajib ditaati. Kewajiban ini tidak hanya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintah. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintah harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah gugur, karena agama melarang ketaatan pada kemaksiatan. Terdapat keharusan yang bersifat timbal-balik dalam prinsip ketaatan ini. Rakyat wajib menaati pemerintah selama pemerintah itu menaati Allah SWT dan rasul-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. al-Nisa': 59 berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُواالرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan para pemimpinmu!"
Menurut Quraish Shihab (1999, 427), "Tidak disebutkannya kata perintah taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
4. Prinsip musyawarah
Sedangkan prinsip musyawarah menghendaki agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan melalui musyawarah di antara mereka yang berhak. Untuk maksud tersebut diperlukan rumusan metode pembinaan hukum perundang-undangan, tatacara atau mekanisme musyawarah yang bersumber dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah (Salim, 1994:306-307).
Al-Qur'an memang melarang mengikutsertakan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya' (rekan kepercayaan), seperti dinyatakan dalam Q.S. al-Ma’idah: 51. Tetapi, Allah SWT memberikan jalan keluar atas keterlibatan mereka dalam sistem pemerintahan, seperti terlihat dalam Q.S. Ali Imran: 118.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non Muslim), karena mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu. Mereka ingin menyusahkanmu. Telah tampak dari ucapan mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya."
Ayat di atas, tulis Rasyid Ridha (dalam Shihab, 1999), mengandung larangan dan penyebabnya. Jadi, larangan tersebut adalah larangan bersyarat sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin atau teman kepercayaan adalah mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum muslimin, serta yang telah nampak dari ucapan mereka kebencian." Dari sini, simpul Shihab, terlihat bahwa al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin kerjasama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat.
Adapun cita-cita politik Islam seperti dikemukakan secara implisit oleh al-Qur’an adalah: (1) terwujudnya sebuah sistem politik, (2) berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap, dan (3) terwujudnya ketenteraman dalam kehidupan masyarakat. Cita-cita politik tersebut tersimpul dalam ungkapan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yang mengandung konsep “negeri sejahtera dan sentosa.”
Sesuai dengan janji Allah, cita-cita tersebut hanya dapat dicapai dengan iman dan amal. Ini bermakna, manusia harus mengakui dan mengikuti kebenaran yang dibawa Rasul Allah SAW, serta melaksanakan pembangunan material-spiritual, memelihara dan mengembangkan ketertiban dan keamanan bersama. Usaha ini pada hakikatnya adalah penerapan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang diwajibkan atas setiap mukmin dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Dari sini, tampak kedudukan kekuasaan politik sebagai sarana dan wahana, sedangkan pemerintah merupakan pelaksana bagi tegaknya ajaran agama (Salim, 1994:298).
C. PRINSIP-PRINSIP POLITIK LUAR NEGERI DALAM ISLAM
Al-Qur’an menggambarkan bahwa manusia diciptakan Allah SWT menjadi berbagai bangsa, suku, dan sejenisnya, dengan tujuan agar manusia dapat saling kenal-mengenal antara satu dengan lainnya. Al-Qur’an surat al-Hujurat:13 melukiskan hal ini dengan tegas.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah adalah mereka yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar” (Q.S. al-Hujurat:13).
Pengertian saling kenal-mengenal (ta’aruf), menurut konsep al-Qur’an, dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut. Pertama, memahami dan mengetahui bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat suatu bangsa. Kedua, membina dan menumbuhkan saling pengertian di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Rasa curiga-mencurigai antara satu dengan lainnya sedapat mungkin dihindari. Sebaliknya, al-Qur’an menginginkan agar bangsa-bangsa di dunia saling hormat-menghormati antara satu dengan lainnya, serta senantiasa membina dan menumbuhkan rasa aman dan damai di antara bangsa-bangsa di dunia ini. Ketiga, al-Qur’an dengan konsep saling kenal-mengenal di antara bangsa-bangsa di dunia ini pada hakekatnya menginginkan terwujudnya perdamaian dunia yang nyata dan langgeng. Dengan prinsip saling kenal-mengenal, diharapkan bangsa-bangsa di dunia ini senantiasa mencegah timbulnya konflik di antara mereka (Ali, et. al., 1986:91-92).
1. Etika Bertetangga dengan Baik
“Bertetangga dengan baik” dalam doktrin Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu Muslim, baik terhadap sesama Muslim maupun terhadap mereka yang non Muslim. Etika ini sangat erat kaitannya dengan iman. Dalam sebuah hadis Nabi SAW disebutkan bahwa seorang Muslim belum dapat dikatakan beriman apabila ia tidak melaksanakan etika bertetangga dengan baik terhadap para tetangganya.
Demikian tingginya makna etika ini sehingga dalam doktrin Islam etika bertetangga dengan baik senantiasa dikaitkan secara erat dengan tauhid atau keimanan.
2. Hubungan Internasional
Bagaimanakah seharusnya hubungan internasional itu dibina? Doktrin Islam telah mengajarkan kepada para pemeluk Islam beberapa prinsip pokok:
a) Pertama, hubungan internasional dilandasi dengan prinsip untuk memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. Oleh karena itu, doktrin Islam mewajibkan manusia Muslim untuk membentuk perdamaian yang bermoral dan yang senantiasa berpedoman kepada al-Qur’an dan hadis.
b) Kedua, doktrin Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar memenuhi persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian internasional. Diharapkan dengan demikian dapat dicegah kesalahpahaman dan kerugian bagi pihak lain.
c) Ketiga, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hubungan internasional dilaksanakan dengan cara pertukaran duta atau utusan. Sejarah telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW sejak tahun ke-3 Hijriyah telah mengirimkan beberapa utusan (envoys) ke negara-negara lain.
D. DEMOKRASI DALAM ISLAM
1. Konsep dan Sejarah Demokrasi dalam Islam
Demokrasi terlahir di Yunani dan berkembang pesat di Eropa atau belahan bumi bagian utara, sementara Islam lahir di Arab dan berkembang pesat di wilayah selatan. Demokrasi merupakan produk akal sedang Islam adalah wahyu yang difirmankan kepada Rasulullah SAW. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan yang dijalankan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin tidak menyebutkan atau berlandaskan pada demokrasi. Pertemuan Islam dan demokrasi merupakan pertemuan peradaban, ideologi, dan latar belakang sejarah yang jauh berbeda.
2. Sisi Positif dan Negatif Demokrasi
Sebagai suatu pemikiran, demokrasi tidak lepas dari sisi positif dan negatif yang melekat padanya. Ada sisi positif yang menggiurkan sehingga dianut oleh banyak bangsa tetapi banyak pula sisi negatif yang terkadang dinafikan oleh mereka. S.N. Dubey (dalam Muslim.or.id. 2007) mencatat delapan segi positif demokrasi, yaitu: melindungi kebebasan individual, menjamin persamaan hak, mendidik rakyat jelata, mengembangkan karakter rakyat, memperkembangkan cinta tanah air, pencegah pergolakan, menghasilkan kemajuan, dan menciptakan ketepatgunaan yang baik.
Tetapi di balik itu, terdapat sisi negatif yang menjadikan demokrasi tidak dapat diterima oleh sebagian orang. Kelemahan yang terdapat di dalamnya menjadi sorotan tajam bagi para penentang demokrasi. Mereka menyatakan, "Cacat demokrasi yang paling fatal adalah terdapat pada landasan konsepsinya sendiri. Prinsip kedaulatan di tangan rakyat yang diwujudkan dalam suara terbanyak. Prinsip mayoritas ini amat rentan tatkala penguasa atau sekelompok orang dapat merekayasa masyarakat melalui propaganda, money politic, tindakan persuasif hingga represif agar mendukungnya."
3. Pandangan Islam tentang demokrasi
Demokrasi tidak diajarkan oleh Islam. Esposito dan Piscatori (dalam Eko Taranggono, 2002), mengidentifikasi adanya tiga varian pemikiran mengenai hubungan Islam dan demokrasi.
a. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.
b. Kedua, Islam tidak berhubungan dengan demokrasi. Menurut pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non Muslim dan antara laki-laki dan perempuan. Ini bertentangan dengan equality-nya demokrasi.
c. Ketiga, Theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi berpandangan bahwa Islam merupakan dasar demokrasi. Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, tetapi perlu diakui bahwa kedaulatan rakyat merupakan subordinasi kedaulatan Tuhan.
Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu: musyawarah (syura), kesepakatan (ijma’), dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad). Yang diinginkan dalam Islam adalah “demokrasi plus”, yaitu demokrasi yang tetap menjunjung kebenaran agama dan aspirasi rakyat banyak.
E. HAK DAN KEWAJIBAN ASASI MANUSIA MENURUT AJARAN ISLAM
1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar manusia yang secara kodrati dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya tanpa perbedaan agar dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangsihnya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak asasi manusia yang melekat pada diri tiap manusia ini ditetapkan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Sedangkan kewajiban asasi manusia adalah kewajiban dasar manusia yang wajib dipenuhi olehnya meski dalam skala minimal.
Rasul Allah SAW meletakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia ini ketika beliau menata masyarakat Madinah, yang disebut-sebut sebagai masyarakat plural yang ideal. Hal itu ditetapkan dalam Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah atau Mitsaq al-Madinah) dengan prinsip-prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan, kebebasan, toleransi beragama, perdamaian, tolong-menolong, dan membela yang teraniaya, serta mempertahankan Madinah secara kolektif dari serangan musuh.
2. Hak Asasi Manusia Menurut Piagam PBB
Para ahli pikir Barat tampaknya sangat dipengaruhi oleh pandangan individualisme sehingga hak-hak asasi manusia dianggap lebih utama dari kewajiban-kewajibannya. Akibat dari pandangan ini manusia lebih banyak menuntut hak-haknya dari pada memenuhi kewajiban-kewajibannya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan hak asasi manusia lebih bersifat antroposentris yang melihat kepentingan individu lebih dari segalanya. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, serta antara negara besar dan negara kecil."
Dalam Deklarasi Universal, terdapat sejumlah ciri menonjol hak asasi manusia. Pertama, agar kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, karena hak asasi manusia adalah hak. Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting.Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Pemerintah dari orang tersebut sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
3. Pandangan Islam tentang Hak Asasi dan Kewajiban Asasi Manusia
Berbeda dengan pendekatan Barat, “strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris” (Depag RI, 1996:46).
Dalam konsep Islam, manusia dan jin diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban. Manusia diciptakan untuk menunaikan dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Manakala kewajiban-kewajiban itu telah dipenuhinya, maka dengan sendirinya ia akan memperoleh hak-haknya. Hukum Islam telah menggariskan agar manusia mencapai equilibrium, yaitu keseimbangan dan harmoni antara kewajiban-kewajiban dan hak-haknya. Kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat hendaknya selalu beriringan dan bukan antagonistis atau kontradiktif.
Dalam hukum Islam, dikenal hukum fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah adalah suatu kewajiban kolektif yang apabila dilaksanakan oleh sebagian atau sejumlah anggota masyarakat, maka anggota masyarakat yang lainnya yang tidak melaksanakan kewajiban itu dianggap telah menunaikan kewajiban tersebut sehingga mereka bebas dari tuntutan pertanggungjawaban (Zaki Yamani dalam Depag RI, 1996:37).
Sedangkan fardhu‘ain adalah suatu kewajiban yang wajib dilakukan oleh tiap individu karena jika tidak dilakukan akan mendapat dosa. Secara garis besar, kewajiban manusia itu adalah:
a. Kewajiban terhadap Allah, seperti terdapat dalam Q.S. al-Dzariyat:56.
b. Kewajiban terhadap diri sendiri. Sebagai manusia, dia berkewajiban memelihara kemuliaan martabatnya sebagai makhluk termulia dengan menghindarkan diri dari segala tindakan yang merendahkan derajatnya (Q.S. al-Isra’:70).
c. Kewajiban terhadap keluarga. Sebagai seorang suami, dia wajib mempergauli isteri dengan ma’ruf, isteri berkewajiban taat pada suami (Q.S. al-Nisa’:19), dan seorang anak berkewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua (Q.S. al-Ankabut:8). Kewajiban seseorang untuk menjaga diri dan keluarganya dari ancaman api neraka (Q.S. al-Tahrim:6).
d. Kewajiban terhadap tetangga, dengan membina kerukunan hidup dalam suatu lingkungan sosial di mana ia bertempat tinggal (Q.S. al-Nisa’:36).
e. Kewajiban terhadap buruh. Dasar-dasar peraturan bagi hukum perburuhan secara implisit juga kita temukan dalam Q.S. al-An’am:2, yang menentukan kewajiban pokok bagi seorang majikan, yaitu: (1) mencukupi sandang-pangan buruhnya; (2) menyediakan tempat tinggalnya; (3) memberikan pendidikan dan pengajaran; dan (4) tidak memberikan pekerjaan yang melampui batas kemampuan buruh.
f. Kewajiban terhadap harta. Prinsip-prinsip hukum terhadap harta benda digariskan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Dzariyat:19, yaitu: (1) memelihara dan menjaga harta sebagai amanat Allah padanya, dia tidak boleh menghambur-hamburkan hartanya; (2) harta akan dimintai pertanggungjawabannya, dari mana diperoleh dan untuk apa penggunaannya; (3) harta yang dimiliki tidak bersifat mutlak dan bukan hak monopoli 100%, karena di dalamnya terdapat hak orang-orang miskin dan orang yang memerlukan bantuan; dan (4) diwajibkan mengeluarkan bagi orang miskin, anak yatim, dan buruh.
g. Kewajiban terhadap negara. Kewajiban ini terkait dengan kewajiban terhadap pimpinan negara selama pemimpin negara itu patuh pada Allah dan Rasul-Nya (Q.S. al-Nisa’:59). Sebagai warga negara, seseorang wajib membela kepentingan negara dan mempertahankan kedaulatannya.
h. Kewajiban terhadap lingkungan hidup. Allah SWT dalam Q.S. al-A’raf:56 melarang manusia merusak lingkungan yang telah ditata dengan baik oleh-Nya, mereka harus melindungi alam dan menyelamatkan kelangsungan hidup bagi generasi berikutnya.
Semua kewajiban itu ditinjau dari segi iman, kelak di akhirat akan dituntut pertanggungjawabannya dari setiap individu. Kewajiban itu tidak hanya menimbulkan hak bagi individu, melainkan juga akan memperoleh pahala kelak di akhirat. Pahala itu merupakan hak yang diperolehnya dari kewajiban yang ditunaikannya.
Selain pahala di akhirat, ia berhak memiliki hak-hak asasi sebagai manusia. Di dalam al-Qur’an, prinsip-prinsip human rights, sebagaimana yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dilukiskan dalam berbagai ayat al-Qur’an, antara lain, tentang:
a. Martabat manusia. Setiap manusia dilahirkan dengan membawa kemuliaan martabat dirinya, “Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya...” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Martabat ini akan terus melekat pada diri manusia sampai ia meninggal dunia, asalkan ia senantiasa memelihara dan menjaga kemuliaan itu dengan iman dan amal saleh, serta bertakwa kepada Allah (Q.S. al-Isra’:70). Ia juga berhak memiliki hak perlindungan untuk hidup, maka nyawanya tidak dapat dihilangkan tanpa suatu alasan yang sah dan adil (Q.S. al-Naml:33).
b. Prinsip persamaan. Pada dasarnya, manusia adalah sama, karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu kriteria yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yaitu takwa (Q.S. al-Hujurat:13). Persamaan dalam hukum (equality before the law) telah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh Khulafa’ Rasyidun dan sahabat terkemuka serta al-salaf al-salih. Rasul Allah SAW bersabda:
« إِنَّمَا هَلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا ».
“Orang-orang yang sebelum kamu hancur binasa, oleh karena apabila golongan elitnya mencuri, mereka biarkan. Tetapi, apabila rakyat jelata mencuri mereka tegakkan hukum atas orang-orang tersebut. Demi Allah, andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
c. Prinsip kebebasan menyatakan pendapat. Namun dalam Islam kebebasan yang diberikan kepada manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang dibimbing oleh wahyu. Kebebasan menyatakan pendapat harus ditafsirkan sebagai suatu pengejawantahan terhadap perintah Allah agar manusia selalu menggunakan akalnya.
d. Prinsip kebebasan beragama. Dalam Q.S. al-Baqarah:256 secara tegas Allah menggariskan, “Tidak (boleh) ada paksaan dalam beragama.” Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sepenuhnya mempunyai kebebasan untuk menganut suatu keyakinan agama yang disenanginya. Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip kehormatan spiritual, apabila ia dengan suka rela tanpa ada paksaan memilih jalan yang benar.
e. Hak jaminan sosial. Sejak awal, Islam telah menggariskan suatu ketentuan bahwa di dalam harta orang kaya terdapat hak fakir miskin dan mereka yang memerlukannya (Q.S. al-Dzariyat:28). Infak, sedekah, dan zakat dimaksudkan untuk melenyapkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapatan bagi segenap anggota masyarakat. Orang miskin mempunyai jaminan sosial yang diperolehnya dari sebagian harta kaum dermawan.
f. Hak atas harta benda. Sesuai dengan martabat manusia yang tinggi, maka jaminan dan perlindungan terhadap hak milik seseorang merupakan kewajiban penguasa. Pemerintah boleh mengambil alih harta kekayaan seseorang, tetapi wajib memberi ganti rugi yang cukup (Depag RI, 1996:40-45).
Daftar Rujukan
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Negeri Malang. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam, Respons Terhadap Problematika Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.